missing Solo

entik dan njawani...
entik dan njawani...

Saya cinta banget ama kota itu. Entah karena apa. Suasana malamnya mungkin, atau hanya orang-orangnya.
Saya ngga punya satupun sodara kandung disana. Yang ada hanya sodara dari mantan istri pertama papa saya. Bukan sodara sih menurut saya. Kenalan lama saja. Toh saya kenal baik dengan mereka ketika saya masih kecil banget. Sekarang? hmmm… lagipula jarang sekali saya mengunjungi mereka. Bukan keharusan menurut saya.
Tapi saya memang menyukai Solo, dan senang berada disana. Seperti selalu memanggil-manggil saya untuk pulang, padahal Solo is not really my hometown.
Kota yang menawarkan ke-apa adanya-an. Semua orang dari setiap sudut, mengenal satu dengan yang lain, dan tidak kuatir untuk menjadi asing.
Dulu, saya memang menolak keberadaan saya disana. Awalnya, saya menyesal menjatuhkan pilihan untuk melanjutkan study di kota dengan kultur yang sangat berbeda dengan tempat saya.
Saya yang begitu meng-idolakan Surabaya sebagai tanah kelahiran saya, meskipun tidak besar disana.
Tapi semua itu berangsur berubah. Begitu saya kemudian membuka diri, menyatakan kepada diri saya bahwa saya akan memberikan kesempatan kepada kota ini untuk saya cintai.
Dan hasilnya, saya justru lebih mencintai kota Solo daripada tanah kelahiran saya sendiri.

Yang khas buat saya dari sebuah Solo, adalah dimana waktu disana berjalan dengan lambat. Bukan dalam artian yang sebenarnya sih, toh dimanapun kita, itungan sehari ya pastinya 24 jam.

hiasan burung-burungan dari kertas, perlambang harapan
hiasan burung-burungan dari kertas, perlambang harapan

Hanya saja, ketika disana, saya ngga perlu terburu-buru dalam melakukan aktivitas. Karena semua orang juga bergerak dengan kecepatan yang standar. Engga bakalan ada tuh motor yang dikendarai dengan kecepatan tinggi dilajukan dengan gerakan menyilang silang membahayakan pengendara lainnya. Semuanya melaju dengan kecepatan yang manusiawi. Selisih beberapa menit tetapi mengorbankan nyawa sendiri dan orang lain. Apalagi kalau kaki ini sudah melangkah memasuki kampus hijau. Suasana kampus yang sangat green, menambah kesejukan penghuninya. Kultur jawa yang adem ayem, membuat nyaman penduduknya.

Kalo inget kos-an saya apalagi. Meskipun letaknya nyaris berdekatan dengan kuburan cina *temen saya suka bilang giniati-ati loh na, kalo tiba-tiba malem2 ada orang jualan sate lewat didepan kamarmupadahal kamar saya dilante 2, artinyaaa…???* tapi tetep saja, tanpa menghiraukan kuburan cina yang ada di bawah kamar, saya tetp ngerasa nyaman dikamar itu. Apalagi klo temen-temen udah pada nongkrong di kamar saya yang suka dijadikan basecamp.

Engga begitu saja saya mencintai Solo. Prosesnya panjang. Tapi toh saya menjalani proses itu, dan hasilnya, sekarang saya malahan sangat mencintai kota itu. Tempat dimana saya merasa didewasakan, baik oleh kota itu, baik oleh penduduknya, baik oleh keadaan selama saya disana, oleh semua yang saya dapatkan disana.

Hmmm… saya kangen ama solo-banget!